I.
PENDAHULUAN
Manusia menurut Alexis Carrel dalam
bukunya Man, the unknown adalah sebuah misteri. Pertanyaan sekitar apa
dan siapa manusia itu ? yang mencerminkan hakekat kemanusiaan itu sampai
sekarang tak kunjung tuntas. Meskipun telah banyak dilakukan penelitian tentang
manusia terutama yang dilakukan oleh psikologi, tetapi problema seputar manusia
masih banyak yang tidak terjawab. Dengan seiring perkembangan zaman saat ini
banyak ilmu-ilmu sosial yang memandang bahwa manusia adalah makhluk yang berada
dalam keadaan sekarat dan tinggal menunggu ajal (man is dead
or dying) sehingga dengan fenomena ini manusia layaknya barang yang dapat diolak-alik
sedemikian rupa (posmodernisme).[1]
Memahami kondisi tersebut, tugas kita adalah
mengubah atau membangun konsep baru tentang manusia yang ujung-ujungnya bukan
mengobyektifikasi manusia, akan tetapi bagaiman cara memandang dan menempatkan
manusia secara benar dalam arti yang sesungguhnya. Disini Agama menjadi
sandaran yang seharusnya membangun paradigma baru tentang ilmu pengetahuan.
Makalah ini mencoba menelaah bagaimana konsep
manusia menurut psikologi dan islam sehingga dapat menemukan pengertian yang seseungguhnya
tentang penempatan manusia pada hakikatnya.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
konsep manusia menurut psikologi?
2. Bagaimana
konsep manusia menurut islam?
3. Bagaimana
interelasi konsep manusia menurut psikologi dan islam?
III.
PEMBAHASAN
1.
Konsep
Manusia menurut Psikologi
Di kalanngan
ilmuan Psikologi seringkali muncul suatu pertanyaan tentang hakikat manusia
yang sesungguhnya dan setiap kali hal itu muncul selalu saja tidak mendapatkan
jawaban yang memuaskan. Bahkan terdapat diantara mereka seperti nyaris pesimis
hingga mengatakan begini: “jika ada
pertanyaan purba yang sampai kapan pun tidak pernah basi dan selalu
diperbincangkan, barangkali tidak lain dan tidak bukan pernyataan tersebut
berkisar tentang makna manusia”. Dalam ranah ilmu pengetahuan pendapat ahli
dlam memaknai manusia yang berpendapat bahwa manusia dan bintang keduanya sama.
Manusia adalah sebuah mesin yang diberi makan dan menghasilkan pikiran. Manusia
hanyalah sebatas ilalang sesuatu yang le,ah di alam raya, namun ia adalah
ilalang yang berfikir (Kaff, 1992).[2]
Dalam dunia psikologi pandangan umum
tentang manusia sebagai berikut :
ü
Para ilmuan fisiologi lebih melihat manusia dari
kumpulan fungsi anggota tubuhnya dan melihat perilakunya sebagai kumpulan
aktifitas fisik dan kimia.
ü
Para psikolog klinis lebih melihat manusia dari
kumpulan insting yang membinasakan dan melihat perilakunya sebagai kumpulan
syahwat yang memuaskan insting tersebut, baik dilakukan dengan cara yang benar
atau menyimpang.
ü
Para psikolog perilaku melihat manusia sebagai satu
alat hidup. Perilaku yang ditangkapkannya merupakan hasil dari pemuasan
dorongan syahwat saja.
ü
Para psikolog ststistik lebih melihat manusia sebagai
kumpulan angka dan statistic. Perilakunya yang ditampakkannya merupakan
kumpulan dari angka-angka yang semu dan menyesatkan.[3]
Bertolak dari pengertian psikologi
sebagai ilmu yang menelaah tentang perilaku manusia, para ahli psikologi
memandang bahwa kondisi ragawai, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan
penentu-penentu utama perilaku dan corak kehidupan manusia. Selain itu,
psikologi, apapun alirannya menunjukkan bahwa filsafat manusia yang
mendasarinya bercorak Anthroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat
dari segala pengalaman serta penentu utama segala peristiwa yang menyangkut
manusia dan kemanusiaan. Pandangan ini mengangkat manusia dalam derajat yang
teramat tinggi, dimana manusia sekan menjadi prima-causa yang unik, pemilik
akal dan budi yang hebat.
Sampai dengan penghujung abad XX ini
terdapat empat aliran besar psikologi:
o
Psikoanalisis (Psychoanalysis)
Penentu dan
pendiri psikoanalisis adalah Sigmund freud (1856-1939), menurut dia kepribadian
manusia terdiri dari tiga sistem, yaitu Id (dorongan-dorongan biologis), Ego
(kesadaran terhadap realitas kehidupan), dan superego (kesadaran normatif) yang
berinteraksi satu sama lain masing-masing memiliki fungsi dan mekanisme yang
khas. Selain itu manusia mempunyai tiga strata kesadaran:alam sadar (the
conscious), alam prasadar (the preconscious), dan alam tak sadar ( the
unconscious) secara dinamis berinteraksi satu dengan lainnya.[4]
o
Psikologi Perilaku
(Behavior Psychology)
Menurut
B.F. Skinner memandang bahwasanya manusia pada dasaranya dilahirkan tidak
membawa bakat namun semata-mata melakukan respons (tanggapan) terhadap suatu
rangsangan. Behavior memandang manusia itu semuanya sama yaitu apapun jadinya
seseorang satu-satunya yang menentukan adalah lingkungannya.
o
Psikologi Humanistik
(Humanistic Psychology)
Psikologi
Humanistik dipelopori oleh Abraham Maslow. Berpandangan bahwa pada dasarnya
manusia adalah baik, dan potensi manusia tidak terbatas. Pandangan ini sangat optimistikterhadap
upaya pengembangan sumber daya manusia. Sehingga manusia dipandang sebagai
penentu tunggal yang mampu melakukan play God (peran Tuhan).[5]
o
Psikologi Transpersonal
(Transpersonal Psychology)
Psikologi
Transpersonal merupakan kelanjutan Psikologi Humanistik. Aliran ini disusun
oleh S.I.Shapiro dan Denise H.Lajoie.
Unsur- unsur yang menjadi telaah
Psikologi Transpersonal:
·
potensi- potensi luhur (the highest potensials), yaitu
transendensi diri, keruhanian, potensi luhur dan paripurna, pengalaman mistik,
pengalaman spiritual dan sebagainya.
·
Fenomena keadaan (states of consciousness) manusia
adalah pengalaman seseorang melewati batas- batas kesadaran biasa. Misalnya
memasuki alam- alam kebatinan, kesatuan mistik, komunikasi kebatinan,
pengalaman meditasi dan sebagainya.[6]
Masing-masing
aliran meninjau manusia dari sudut pandang berlaianan, dan dengan metodelogi tertentu
berhasil menentukan berbagi dimensi dan asas tentang kehidupan manusia,
kemudian membangun teori dan filsafat mengenai manusia.
2.
Konsep
Manusia menurut Islam
Manusia
menurut Al-Qur’an dimaknai dengan menggunakan beberapa istilah, yaitu Bani
(Banu) adam atau Dzurriyat Adam (keturunan, anak Cucu Adam), al-insan, al-ins,
al-nas, atau unas atau al-basyar. Sejalan dengan fungsinya sebagai khalifah
dimuka bumi ini, manusia diekali dengan berbagai instrumen sebagai modal dasar
dalam menjalankan tugas kekhalifahan. Pada sisi ini manusia berbeda dengan
hewan sehingga dalam perspektif islam
manusia tidak menjadi objek selayaknya hewan.[7]
Islam
memandang manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki keunikan dan keistimewaan
tertentu. Sebagai salah satu makhlukNya karakteristik eksistensi
manusia harus dicari dalam relasi dengan pencipta dan makhluk Tuhan lainnya. Sekurang-
kurangnya ada empat relasi manusia, yaitu:
1)
Hubungan manusia dengan
dirinya sendiri (bablun minannas) yang ditandai dengan kesadaran untuk
melakukan amal ma’ruf nahi munkar atau sebaliknya mengumbar nafsu- nafsu
rendah.
2)
Hubungan antar manusia (bablun
minannas) dengan usaha membina silaturahmi atau memutusnya.
3)
Hubungan manusia dengan alam
sekitar (bablun minal ‘alam) dengan upaya pelestarian dan pemanfaatan alam
dengan sebaik-baiknya atau sebaliknya menimbulkan kerusakan.
4)
Hubungan manusia dengan sang
pencipta (bablun minallah) dengan kewajiban ibadah kepadaNYA atau justru
menjadi ingkar dan syirik.[8]
Hanna Djumhana Bastaman (1993) memberi contoh bahwa wawasan islami
mengenai manusia antara lain :
1.
Manusia mempunyai derajat
sangat tinggi sebagai khalifak Allah.
2.
Manusia tidak menaggung dosa
asal atau dosa turunan.
3.
Manusia merupakan kesatuan
dari empat dimensi: fisik-biologi, mental-psikis, sosio-kultural, dan spiritual
4.
Dimensi spiritual
memungkinkan mausia mengadakan hubungan dan mengenal tuhan melalui cara-cara
yang diajarkanNYA.
5.
Manusia memiliki kebebasaan
berkehendak (freedeom of will).
6.
Manusia memiliki akal
sebagai kemampuan khusus dan dengan akalnya itu mengembangkan ilmu serta
peradaban.
7.
Manusia tak dibiarkan hidup
tanpa bimbingan dan petunjukNYA.[9]
3.
Interelasi
Konsep Manusia menurut Psikologi dan Islam
Konsep- konsep manusia yang dikemukakan diatas berdasarkan teori
Psikoanalisa, Behaviorisme, dan Humanistik. Dipandang dengan islam, maka
psikologi islam tidak menolak dan juga tidak memebenarkan,tidak menolak artinya konsep tersebut dapat diterima dengan
mendudukannya secara proposional dalam wilayah dan system komposisi struktur
manusia menurut psikologi islami. Tidak memebenarkan artinya, kalau dimensi itu
seperti dalam psikoanalisa, Behaviorisme, dan Humanistik, menjadi satu-satunya dimensi
yang berperan dalam jiwa manusia, dan menafikan dimensi lainnya.[10]
Pandangan agama dan psikologi berjumpa pada diri manusia sendiri sebagai
salah fenomena ciptaan Tuhan dengan segala karekter kemanusiaannya. Tetapi
sebuah perjumpaan tidak selalu berarti pertemuan tinjauan agama dan psikologi
yang sma-sama menyoroti manusia ternyata tidak selau sejalan.
Dalam penggambaran karakter manusia terkesan ada kesamaan, misalnya
gambaran mengenai orang zalim sama dengan gambaran pribadi totaliter. Sedangkan
pandangan mengenai kualitas insane, seperti aktualisasi diri, cinta kasih,
tanggung jawab, dan kebebasan terdapat keserupaan atau kesejalanan antara
pandangan agama dengan psikologi. Demikian pula hanya dengan daya-daya ruhani
manusia.
Hal yang berbeda adalah pandangan mengenai baik tidaknya hakikat manusia.
Isalam memandang fitrah kemanusiaan suci dan beriman, sedangkan
dialiran psikologi ada yang menganggap
hakikat manusia itu buruk (psikoanalisis), netral (psikologi
paerilaku), baik (psikologi humanistika) dan potensial (psikologi
transpersonal).
Denagn demikian perjumpaan antara agama dengan psikologi dalam memandang
manusia terdapat kesamaan (similarisasi) pada gambaran karakterologis,
kesejalanan (paralelisasi) dalam asas-asa dan kualita-kualitas insane,
pelengkapan (komplementasi) dalam determinan keperibadian, serta saling
menyangkal (falsifasi) dalam orientasi filosofis. Memang sebuah perjumpaan
tidak selalu merupakan pertemuan.
Kemudian dengan beranjak dari pemikiran dan keyakianan bahwa ilmu dan
agama merupakan karunia Allah SWT, dan juga dengan menempatkan psikologi
sebagai upaya ilmiah manusia untuk memahami sunnatullah yang bekerja dalam diri
manusia, maka pada tingkat pemikiran tertentu sejauh yang dibayangkan: Agama
(Al qur’an&As sunnah) sarat dengan asas maha benar mengenai
psikologi, dan sebaliknya telaah psikologi banyak yang mendukung kebenaran
agama denagn demikian terbukalah celah-celah hubungan diantara keduanya agama
menawarkan asas-asas, landasan, dan arahan (mahabenar) bagi psikologi,
sebaliknya psikologi menyediakan perangkap metodologi dan eksplanasi-ilmiah
(sementara) bagi agama. Dalam hal ini jelas bahwa Islam member pedoman dan
menyempurnakan psikologi. Bahkan tidak jarang pula Agama jauh lebih dahulu
mengungkapkan kebenaran-kebenaran ilmiah tinimbang sains dan teknologi.[11]
IV.
KESIMPULAN
Bertolak dari pengertian psikologi yang
menelaah perilaku manusia, para ahli psikologi umumnya berpandangan bahwa
kondisi ragawi, kualitas kejiwaan dan situasi lingkungan merupakan
penentu-penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia.
Islam
memandang manusia sbagai makhluk Tuhan yang memilki keunikan dan keistimewaan
tertentu. Sebagai salah satu makhlukNYA karakteristik eksistensi manusia harus dicari dalam relasi dengan
sang pencipta dan makhluk-makhlukNYA.
Pandangan
Islam dan psikologi berjumpa pada diri manusia sebagai salah satu fenomena
Tuhan dengan segala karakter kemanusiaanya tetapi sebuah perjumpaan tidak selalu berarti pertemuan. Tinjauan islam dan
psikologi yang sama-sama menyoroti manusia ternyata hasilnya tidak selalu
sejalan.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun, kesalahan dan kekurangan dalam
penyusunan ini, kami minta maaf. Saran, kritik dan arahan kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Dan semoga makalh ini dapat bermanfaatbagi kita
semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, Djamaludin, Fuat Nashori Suroso, psikologi Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1994
baharudin, Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi Dengan Islam, Yogyakarta
: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1995.
prawira, Purwa Atmaja, Psikologi umum dengan Perspektif Baru, Jogjakarta : Ar-ruzz Media,
2012.
Tufiq, Muhammad Izzuddin, Panduan Lengkap dan
Praktis Psikologi Islam, Jakarta : Gema Insani, 2006.
[1] Djamaludin
Ancok dan Fuat
Nashori Suroso, psikologi Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1994, hal 152
[2] Purwa Atmaja prawira, Psikologi umum dengan Perspektif Baru,
Jogjakarta : Ar-ruzz Media, 2012, hal 198
[3] Muhammad
Izzuddin Tufiq, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, Jakarta : Gema Insani, 2006 hal 151
[4] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan
Islam, Yogyakarta
: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1995, hal 50
[5] Djamaludin
Ancok dan Fuat
Nashori Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1994,
hal 154- 155
[6] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan
Islam,
Yogyakarta : Yayasan
Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1995, hal 53
[7] Purwa Atmaja prawira, Psikologi umum dengan Perspektif Baru,
Jogjakarta : Ar-ruzz Media, 2012, hal. 209
[8] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan
Islam, Yogyakarta
: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1995, hal 54
[9]
Djamaludin
Ancok dan Fuat Nashori Suroso, psikologi Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1994, hal 156
[11] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam,
Yogyakarta : Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1995, hal 59-60
0 comments:
Post a Comment